Pertimbangan dalam agama Islam
Dalam agama Islam, gugatan cerai dibagi menjadi dua istilah: fasakh dan khuluk. Fasakh adalah lepasnya ikatan nikah antara suami istri, di mana istri tidak mengembalikan maharnya atau memberikan kompensasi pada suaminya.
Sementara khuluk adalah pengajuan talak oleh istri, namun ia perlu mengembalikan sejumlah harta atau maharnya kepada suami. Sedikit berbeda dari talak, tidak ada rujuk dalam khuluk.
Aturan Gugat Cerai karena Suami atau Istri Selingkuh
Perzinahan merupakan perbuatan pidana yang diatur hukumannya dalam undang-undang. Pasal 284 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa ancaman pidana perilaku perzinahan berupa hukuman penjara paling lama 9 bulan bagi suami atau istri yang melakukan perselingkuhan berujung zinah di dalam perkawinan yang sah di mata hukum.
Jika Anda mengajukan gugatan cerai karena suami atau istri selingkuh berujung perzinahan, maka hal paling mendasar yang perlu disiapkan adalah bukti gugatan. Permohonan cerai tidak dapat hanya didasarkan pada asumsi atau dugaan salah satu pihak. Penggugat harus menyiapkan bukti jelas yang dapat dikonfirmasi oleh Majelis Hakim di persidangan sebagai situasi pelanggaran hubungan perkawinan yang sebenarnya.
Bukti yang dimaksud bisa dalam berbagai bentuk, misalnya foto, bukti rekaman pesan singkat, CCTV, adanya saksi, dan lain-lain. Dalam hal ini, Anda mungkin perlu berkonsultasi dengan ahli hukum terkait barang bukti perselingkuhan yang Anda maksudkan.
Jika ada pihak yang menduga adanya perselingkuhan, tetapi belum dapat membuktikan tindak perzinahan, maka hal tersebut belum dapat diajukan sebagai alasan gugatan cerai. Dengan demikian, pihak penggugat yang ingin mengajukan perceraian bisa membuat permohonan dengan alasan lainnya.
Salah satu alasan yang bisa digunakan adalah adanya pertengkaran atau perselisihan terus menerus karena perselingkuhan suami atau istri. Pada akhirnya, perselisihan tersebut dinilai menjadi penyebab tujuan perkawinan ideal tidak tercapai dan tidak ada harapan lagi untuk rukun. Alasan hubungan tidak harmonis inilah yang bisa menggantikan alasan perzinahan akibat pasangan berselingkuh.
Apakah Perselingkuhan Bisa Menjadi Alasan Perceraian?
Pertanyaan berikutnya adalah bisakah gugat cerai karena suami atau istri selingkuh? Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya bahwa dalam banyak kasus perceraian, perselingkuhan menjadi salah satu alasan yang jamak dikemukakan.
Pada konsep hukum di Indonesia, sebab-sebab perceraian ternyata juga diatur dalam sebuah undang-undang yang sah, yaitu Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (PP 9/1975) sebagai peraturan pelaksana UUP.
Dalam pasal tersebut, dapat dicermati bahwa ada enam butir situasi yang dapat dijadikan alasan pengajuan permohonan atau gugatan cerai, yaitu:
Baca Juga: Ini Penyebab Perceraian yang Sering Terjadi
Berdasarkan enam butir alasan yang dapat diajukan dalam proses perceraian tersebut, perselingkuhan diatur sebagai salah satu bentuk perzinahan sebagaimana yang dimaksud pada butir pertama.
Jadi, mengajukan gugat cerai karena suami atau istri selingkuh adalah hal yang mungkin dilakukan dan sah di mata hukum. Terlebih lagi, jika tindakan perselingkuhan telah berujung pada zinah atau hubungan badan di luar nikah.
Meski demikian, Anda perlu memahami bahwa ada aturan yang harus dicermati dalam pengajuan gugatan cerai karena suami atau istri selingkuh.
Akibat Perceraian karena Perselingkuhan Berujung Perzinahan
Jika dalam sidang cerai nanti pasangan Anda terbukti melakukan perzinahan, maka hal tersebut bisa berbuntut pada penentuan hak asuh anak.
Orang tua, yang terbukti melakukan perbuatan melanggar nilai-nilai hukum atau ketentuan yang berlaku, dianggap menyalahi kewajibannya dalam mendidik anak. Majelis Hakim tentu akan mempertimbangkan alasan perceraian tersebut untuk menentukan pihak mana yang dianggap lebih mampu dalam memberikan pendidikan dan kehidupan yang layak bagi anak.
Penting diketahui bahwa dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI), anak berusia di bawah 12 tahun hak asuhnya ada pada pihak ibu. Sementara itu, anak yang berusia di atas 12 tahun dianggap telah memiliki pendapatnya sendiri sehingga dapat memilih untuk tinggal bersama ayah atau ibu jika terjadi perceraian.
Keputusan bisa jadi berbeda ketika yang terbukti selingkuh hingga melakukan perzinahan adalah pihak istri. Kondisi tersebut kemungkinan besar akan membuat hak asuh anak jatuh kepada suami sebagai sosok ayah. Hal itu dikarenakan istri atau ibu dari anak tersebut dinilai tidak mampu menjalankan perannya dengan baik dalam sebuah rumah tangga.
Lalu, apabila istri yang berselingkuh suatu ketika melahirkan anak di kemudian hari, maka pihak suami berhak untuk melakukan tes demi memastikan apakah anak tersebut merupakan anak kandungnya atau bukan.
Jika ditemukan bahwa anak tersebut bukan anak kandungnya, maka suami tidak berkewajiban memberikan nafkah. Akan tetapi, apabila anak yang dilahirkan adalah anak kandungnya, maka sang suami wajib memberikan nafkah.
Adapun selama proses pembuktian, sang suami tidak berkewajiban memberikan nafkah kepada istri. Nafkah yang wajib diberikan hanya kepada anak hasil pernikahan mereka sebelum bercerai.
Baca Juga: Begini 8 Cara Mempertahankan Rumah Tangga Dari Perceraian
Pengajuan gugatan cerai karena suami atau istri selingkuh bisa menjadi perkara yang cukup rumit dalam persidangan. Sebaiknya, lakukan konsultasi dengan seorang ahli hukum untuk lebih jelas memahami situasi perkawinan yang Anda alami. Pasalnya, kasus perselingkuhan merupakan situasi perkawinan yang cukup sensitif.
Anda bisa memanfaatkan layanan konsultasi hukum yang ditawarkan oleh Tim Kandara Law untuk situasi tersebut. Tim Kandara Law merupakan tim beranggotakan para advokat dan ahli hukum berpengalaman yang siap membantu menemukan solusi permasalahan hukum yang Anda hadapi.
Kantor Kandara Law tersebar di beberapa wilayah di Indonesia sehingga Anda bisa mengaksesnya dari lokasi terdekat Anda. Saat ini, Kandara Law berada di Jakarta, Surabaya, dan Malang. Jadi, bagi Anda yang yang memiliki masalah hukum terkait proses perceraian, khususnya dengan kasus perselingkuhan, tetapi masih bingung harus meminta bantuan kepada siapa, hubungi Kandara Law sekarang juga untuk saran terbaik!
Hotline: 0811109245 / 081932741333
Email: [email protected]
TRIBUN-MEDAN.com - Apakah harus cerai jika mempunyai suami yang kasar dan selingkuh? Begini penjelasan Buya Yahya.
Menikah merupakan ibadah terlama yang dilakukan oleh setiap manusia.
Ibadah pernikahan ialah sunnah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah Sholallahu'alaihiwasallam.
Maka setelah menikah dan menjadi sepasang suami dan istri memiliki peran masing-masing dalam rumah tangganya.
Sehingga setelah menikah akan ada permasalahan baru yang harus dihadapi lantaran harus menyatukan dua kepala manusia.
Baca juga: Pesan Mulia Buya Yahya Terhadap Orang yang Sering Lupa Gerakan Sholat
Bahkan dalam pernikahan, tak hanya untuk dua insan manusia melainkan harus menyatukan dua keluarga besar.
Terkadang, salah satu permasalahan yang terjadi dalam pernikahan yakni adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suami ke istri.
Hal ini terjadi dengan latar belakang yang beragam, sehingga solusi untuk menyelesaikannya pun berbeda pula.
Bahkan tak jarang kekerasan dalam rumah tangga menjadi salah satu pemicu adanya perceraian.
Lantas, apakah suami yang berlaku kasar dan selingkuh haruskah istri minta cerai?
Begini penjelasan Buya Yahya dibagikan melalui kanal YouTube Al-Bahjah TV.
Baca juga: Penjelasan Ustaz Adi Hidayat Kenapa Surat Yasin Dibaca Untuk Orang yang Meninggal Dunia
"Saya ibu rumah tangga, sudah menikah 4 tahun, punya anak usia 3 tahun, selama berumah tangga suami saya selalu kasar, jika saya salah langsung emosi dan tak jarang tangan selalu ikut menangani.
Bahkan kalau dia marah selalu terucap kata pisah atau menyerahkan kepada orangtua saya, terkadang saya takut sendiri kalo berhadapan dengan suami.
Takut salah ngomong dan bisa memicu emosinya, padahal selama ini saya selalu sabar dan selalu berusaha menuruti apa yang suami saya mau.
BincangSyariah.Com – Kehidupan keluarga yang bahagia serta harmonis merupakan harapan atau keinginan siapapun yang akan dan telah menjalani kehidupan pernikahan. Setiap pasangan suami istri mendambakan kehidupan rumah tangga yang tenteram, damai dan bahagia.
Kebahagiaan pernikahan tersebut tidak akan terbangun kecuali hak dan kewajiban pasangan tersebut saling terpenuhi. Terkait dengan kewajiban suami terhadap istri misalnya, suami wajib menunaikan hak materi berupa mahar dan nafkah materi, maupun hak non-materi istri seperti memberikan nafkah batin serta berlaku adil terhadapnya. Ini seperti disebutkan Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū (j. 9 h. 6832),
للزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية: وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل.
“bagi istri terdapat beberapa hak yang bersifat materi berupa mahar dan nafaqoh dan hak-hak yang bersifat non materi seperti memperbagus dalam menggauli dan hubungan yang baik serta berlaku adil.”
Ketika hak-hak dan kewajiban dalam rumah tangga tidak terpenuhi maka akan berakibat kepada keretakan rumah tangga itu sendiri, dan yang terburuk adalah mengakibatkan pernikahan tersebut menjadi berakhir dengan perceraian.
Pada prinsipnya, agama tidak menghendaki (meski tidak melarang) terjadinya perceraian setelah terjadi sebuah pernikahan. Namun, jika ada sekian faktor – termasuk tidak mampu menafkahi – yang menunjukkan kalau perceraian bagi pasangan yang menjadi kehidupan rumah tangga adalah jalan terbaik, maka agama memiliki penjelasan tentang fikih perceraian tersebut. Perceraian dibagi menjadi dua yaitu: furqotu talaq (perceraian talaq), yaitu suami mentalak istri dan furqotu faskhin (cerai gugat), dimana istri menggugat cerai suami di hadapan pengadilan. Salah satu faktor yang dibenarkan agama untuk melakukan faskh adalah kondisi jatuh miskinnya seorang suami (mu’sir) dan ia tidak lagi mampu menafkahi istrinya. Ini seperti disebutkan dalam kitab I’anatu at-Thalibin ‘ala Hill Alfāẓ Fath al-Mu’īn (j. 4 h. 98) dan Fath al-Wahhāb bi Syarh Manhaj at-Ṭullāb (j. 2 h. 147),
فرع في فسخ النكاح: وشرع دفعا لضرر المرأة يجوز (لزوجة مكلفة) أي بالغة عاقلة لا لولي غير مكلفة (فسخ نكاح من) أي زوح (أعسر) مالا وكسبا لائقا به حلالا (بأقل نفقة) تجب وهو مد (أو) أقل (كسوة) تجب كقميص وخمار وجبة شتاء
“sebuah cabang pembahasan di dalam penjelasan faskh nikah: faskh disyariatkan guna mencegah doror (bahaya) seorang istri dan faskh boleh dilakukan bagi istri yang baligh, berakal terhadap suami yang melarat akibat tidak memiliki harta, atau pekerjaan yang layak serta halal yang paling sedikit untuk kewajiban menafkahi (pangan), yaitu setidaknya satu mud. Atau tidak memiliki harta yang paling sedikit untuk kewajiban menafkahi sandang-nya istri, seperti gamis, kerudung, atau jubah untuk musim dingin.” (I’anatu at-Ṭālibīn, j. 4 h. 98)
وَلَا ” فَسْخَ ” قَبْلَ ثُبُوتِ إعْسَارِهِ ” بِإِقْرَارِهِ أَوْ بِبَيِّنَةٍ ” عِنْدَ قَاضٍ ” فَلَا بُدَّ مِنْ الرَّفْعِ إلَيْهِ ” فَيُمْهِلُهُ ” وَلَوْ بِدُونِ طَلَبِهِ ” ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ” لِيَتَحَقَّقَ إعْسَارُهُ وَهِيَ مُدَّةٌ قَرِيبَةٌ يُتَوَقَّعُ فِيهَا الْقُدْرَةُ بِقَرْضٍ أَوْ غَيْرِهِ.
“tidak ada (boleh) faskh sebelum penetapan melaratnya suami dengan pengakuan dari dirinya atau dengan adanya bukti di hadapan Qadhi’ (pengadilan). Maka harus dilaporkan kepada Qadhi terlebih dahulu. Kemudian Qadhi’ memberi tenggang waktu kepada suami selama tiga hari, sekalipun dengan tanpa permintaannya, agar nyata kemelaratan dari suami tersebut dan itu waktu yang sebentar yang mana kemampuan ditangguhkan dengan cara mencari pinjaman atau selainnya.” (Fath al-Wahhāb bi Syarh Manhaj at-Ṭullāb, j. 2 h. 147),
Dari dua penjelasan ulama diatas, menurut hemat penulis walaupun menggugat cerai seorang istri diperbolehkan kepada suami karena jatuh miskin, namun hal ini tidak melulu dipandang dengan akal yang pendek. Oleh karena itu syariat memberikan opsi tatkala suami dalam keadaan jatuh miskin, hendaknya istri bersabar (jika bisa), dan boleh bagi istri untuk kerja mencari nafkah keluarga tatkala suami sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga. Artinya, perceraian bukan satu-satunya jalan yang bisa ditempuh. Meskipun hal ini bukan menafikan bahwa istri boleh saja menggugat cerai suami ketika jatuh miskin.
Saat suami ketahuan selingkuh, salah satu hal yang kerap langsung dipikirkan oleh istri adalah minta cerai. Tapi bolehkah istri minta cerai?
Paling penting, sebelum meminta cerai ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh istri. Terutama jika keluarga sudah dikaruniai oleh anak.
Seperti diketahui, kesehatan psikis dan masa depan anak masih sangat terpengaruh oleh orang tuanya. Jika perceraian tetap dilakukan dan tidak berakhir dengan baik, bukan tidak mungkin psikis anak bisa terganggu, Bunda.
Selain itu, faktor lain seperti ekonomi juga menjadi salah satu hal yang perlu dipertimbangkan sebelum istri minta cerai dari suami selingkuh.
Nah, berikut hal-hal yang perlu dipertimbangkan soal boleh atau tidaknya istri minta cerai pada suami yang selingkuh:
Lihat perubahan sikap suami
Sebelum meminta cerai, perhatikan dulu bagaimana sikap suami setelah ketahuan selingkuh. Apakah ada perubahan menuju arah lebih baik atau penyesalan yang mendalam? Bisa jadi selingkuh terjadi sesaat dan suami sebenarnya masih ingin melanjutkan pernikahan, serta mau berkomitmen untuk tidak mengulanginya lho, Bunda.
Pikirkan lagi faktor-faktor penting lainnya
Seperti disebutkan sebelumnya, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan istri sebelum minta cerai. Mulai dari kondisi psikis anak, hingga faktor ekonomi keluarga. Pikirkan matang-matang soal faktor ini sebelum memutuskan, supaya tidak membuat keputusan yang keliru ya, Bunda.
Berikan waktu untuk berpikir bagi diri sendiri, jika perlu libatkan konselor pernikahan. Jangan terburu-buru membuat keputusan cerai, karena efeknya justru bisa sangat mengganggu di kemudian hari.
Seperti dikutip dari Your Tango, ada baiknya Bunda juga memberikan waktu bagi suami untuk memberi penjelasan. Terutama jika ia sudah mengetahui niat cerai yang terpikirkan oleh Bunda. Ini penting guna melihat apakah masih ada niat meneruskan pernikahan dari sisi suami.
Pertimbangkan baik-baik sebelum meminta cerai ya, Bunda!
Simak juga video hikmah perceraian di mata Kirana Larasati:
[Gambas:Video Haibunda]
Suara.com - Dalam menjalani kehidupan rumah tangga, tak jarang terjadi masalah, bahkan timbul peristiwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Tak jarang, orang yang mengalami KDRT memilih untuk mengajukan cerai terhadap pasangannya. Lantas bagaimana hukum Islam minta cerai karena KDRT?
KDRT merupakan sebuah tindakan pelanggaran hukum dalam Undang-Undang positif, hal ini diatur pada UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dengan hukuman pidana 5 tahun dan denda Rp15 juta.
Selama ini, KDRT identik dengan tindakan yang mengarah pada perbuatan kriminalis seperti pemukulan, penamparan, penganiayaan, intimidasi, dan hal yang melukai badan lainnya. Namun KDRT juga bisa bersifat spiritual emosional, dan perkara-perkara yang tidak kasat mata. Nah, di dalam Islam hukum mengenai KDRT juga telah dijelaskan oleh beberapa ulama.
Hukum Islam Minta Cerai Karena KDRT
Baca Juga: 10 Tanda Pelaku KDRT Tidak Akan Berubah, Seperti Armor Toreador Suami Cut Intan Nabila?
Salah satu hukum KDRT dalam Islam dijelaskan oleh Buya Yahya, dalam tayangan di kanal YouTube Al-Bahjah TV, yang diunggah pada tanggal 20 Desember 2020. Beliau menanggapi terkait hukum KDRT di dalam Islam.
Apabila benar seorang istri sudah mengabdi bahkan merajakan seorang suami, maka ia tidak termasuk istri yang durhaka. Sebaliknya, bila istri sudah bersikap demikian namun sang suami justru menyepelekan bahkan bersikap kasar hingga memukul, maka bisa dibilang ia termasuk suami yang durhaka.
Oleh sebab itu, istri yang dipukul boleh mengajukan cerai kepada suami. Jangankan dipukul berkali-kali, baru dipukul satu kali saja istri sudah diperkenankan untuk meminta cerai kepada suami. Karena sejatinya perempuan ada bukan untuk dipukuli.
Lebih lanjut, menurut Buya Yahya, meminta tolong kepada orang lain saat dizalimi itu bukan perbuatan yang salah. Selain itu, kita juga diperkenankan cerita kepada orang yang akan bisa menolong, asalkan seperlunya dan tidak menggunjing.
Akan tetapi, sebelum mengajukan gugatan cerai, Buya Yahya mengingatkan tentang bahaya perceraian. Salah satunya yaitu kemampuan hidup seorang perempuan setelah ia menyandang status janda. Sebab setelah cerai, seorang wanita tidak bisa menyalurkan kebutuhan batin seperti saat masih berumah tangga.
Baca Juga: Wajib Tahu Jenis-Jenis KDRT, Agar Tak Bernasib Seperti Cut Intan Nabila
Di sisi lain, Ketua Lembaga Bahtsul Masail PWNU Lampung KH Munawir menjelaskan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya hukumnya adalah haram. Perilaku KDRT ini bisa menjadi dasar atau alasan seorang istri menggugat cerai suaminya. Bahkan pengadilan pun bisa menjatuhkan cerai tanpa ada gugatan dari sang istri.
Itu tadi penjelasan mengenai hukum Islam minta cerai karena KDRT. Akhir-akhir ini KDRT menjadi isu yang sering terjadi dan kebanyakan korbannya adalah wanita dan anak-anak. Semoga Allah SWT menjauhkan kita dari tindakan zalim ini.
Kontributor : Putri Ayu Nanda Sari
Ramai kasus mengenai pasangan publik figur yang mengajukan gugatan cerai karena suami atau istri selingkuh. Selain yang bisa dibaca melalui media massa, kasus ini mungkin juga terjadi di sekitar Anda. Pengajuan gugatan cerai karena suami atau istri selingkuh adalah perkara yang cukup banyak diajukan. Pertanyaannya adalah, apakah hal ini diterima secara sah di mata hukum? Anda bisa menemukan jawabannya dalam artikel berikut ini.
Perceraian dalam Perkawinan
Perselingkuhan adalah satu dari banyak alasan keretakan dalam perkawinan atau pernikahan. Hal yang sebaiknya dipahami terlebih dulu adalah mengenai apa itu perkawinan atau pernikahan di mata hukum.
Bagi Anda yang barangkali belum mengetahui hal ini, penting bagi Anda untuk memahami bahwa status suami dan istri sah menjadi salah satu hal yang dilindungi di mata hukum setelah Anda dan pasangan secara resmi melakukan pencatatan buku nikah.
Dalam aturan hukum di Indonesia, perkawinan diterima sebagai salah satu peristiwa hukum dengan tujuan untuk membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP).
Status pengesahannya pun diatur melalui pencatatan di Kantor Urusan Agama dengan melengkapi sejumlah berkas dan syarat. Jika Anda telah mencatatkan secara resmi perkawinan Anda, maka barulah Anda mendapat jaminan yang sah di mata hukum.
Sistem hukum perkawinan tersebut sekaligus mengatur mengenai bagaimana sebuah hubungan pernikahan bisa berakhir atau terputus. Hal ini juga menjadi sesuatu yang perlu Anda pahami dalam mengajukan gugatan cerai karena suami selingkuh. Ada tiga penyebab utama hubungan perkawinan bisa berakhir secara sah di mata hukum, yaitu:
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perceraian memang menjadi salah satu penyebab sah berakhirnya ikatan perkawinan. Namun, perlu dicatat bahwa proses perceraian yang sah hanya dapat diproses melalui persidangan atas dasar keputusan dari Majelis Hakim, sebagaimana diatur oleh Pasal 39 ayat (1) UUP.
Dalam mengurus perceraian, baik suami maupun istri, dapat menjadi pihak yang mengajukan permohonan perceraian. Pengajuan tersebut juga perlu dilengkapi dengan sejumlah syarat. Salah satunya adalah alasan-alasan gugatan perceraian yang nanti akan dikemukakan di persidangan. Berdasarkan alasan itulah, Majelis Hakim akan memutuskan perkara perceraian.